Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Zaman Brahmana

Brahmana adalah kitab-kitab suci yang menguraikan dan menjelaskan hal-hal tentang saji dan upacara: apaartinya suatu saji, apa syarat-syaratnya, tenaga gaib apa yang tersimpul dalam upacaranya, dsb. Memang selama zaman Brahmana ini, yang keagamaannya berpusat kepada saji, bersaji telah menjadikan ilmu tersendiri. Tiap saji ditetapkan dengan cermat sekali menurut peraturan-peraturannya. Menyimpang sedikit dari peraturan itu berarti batalnya, tidak sahnya, saji itu.
zaman brahmana
Mudah dipahami bahwa dengan demikian golongan pendeta menjadi sangat terkemuka. Dalam zaman Weda sudah mereka memang mempunyai kedudukan tersendiri, sebagai pemegang kekuasaan agama (brahmana), disamping adanya pemegang kekuasaan kenegaraan (ksatra) dan rakyat biasa (wis). Dalam zaman Brahmana pembagian itu menjadi lebih tegas lagi, dan golongan ke-4, yang terdiri atas rakyat taklukan telah pula ditambahkan. Demikianlah maka terdapat caturwarna atau 4 kasta, ialah:
1. brahmana (para pendeta)
2. ksatriya (raja dan bangsawan)
3. waicya (pedagang dan buruh menengah) dan
4. gudra (petani dan buruh kecil, juga budak).
Dengan adanya syarat-syarat yang begitu berat untuk melakukan saji, naiklah lagi kedudukan kasta brahmana itu. Dari saji tergantunglah keselamatan manusia, dan yang dapat melakukan saji dengan tepat dan benar hanyalah kaum Brahmana. Kuasanya kasta Brahmana membuat mereka beranggapan bahwa dewa pun tergantung kepada mereka. Dewa digerakan untuk berbuat sesuatu,ya dewa itu dapat hidup disebabkan karena usaha mereka yang setia menyediakan saji. Tanpa saji tidak berartilah dewa-dewa itu. Dengan anggapan itu maka mereka sebenarnya tidak hanya menguasai keselamatan manusia tetapi juga keselamatan dewa! Mereka sendiri pun menjadi dewa, yaitu dewa di dunia, dewa yang menguasai saji, saji yang menguasai segala kejadian!
Untuk saji yang penting dan upacara-upacara yang begitu pelik itu diadakanlah kitab-kitab penuntun, yang disebut Kalpasutra. Kitab ini ada dua macam, sesuai dengan adanya dua macam saji, ialah: Grhyasutra, penuntun untuk saji-saji kecil dalam lingkungan  keluarga (grhyakarmani); Crautasutra, penuntun untuk saji-saji besar dalam lingkungan keluarga raja dan negara (crautakarmani). Saji kecil dilakukan oleh kepala keluarga sendiri, guna keselamatan anggota-anggota keluarganya (termasuk para pitara atau arwah). Diselenggarakannya setiap hari bersama dengan sembahyang sehari-hari, dan juga pada waktu-waktu adanya suatu peristiwa yang menyangkut kehidupan keluarga, seperti kelahiran, pemberian nama pada anak, perkawinan, kematian, dsb.
Saji besar yang disertai tiga api unggun, umumnya hanya dilakukan oleh raja, guna keselamatan negara dan rakyatnya. Yang menyelenggarakan adalah 4 orang pedanda dengan 3 orang pembantu untuk masing-masing. Setiap pedanda merapalkan syair-syair dan doa-doa wedanya sendiri. Demikianlah pedanda yang khusus untuk Rigweda disebut hotr, untuk Samaweda udgatr, untuk Yajurweda adhwaryu dan untuk Atharwaweda brahman.
Di antara saji-saji besar yang terkenal adalah Rajasuya, yaitu upacara penobatan raja, dan Acwamedha, yaitu upacara memproklamirkan kebesaran negara (dinamakan acwamedha atau “saji kuda”, oleh karena upacara dimulai dengan melepaskan kuda supaya pergi sekehendaknya, dengan diiringi oleh tentara, selama satu tahun, sedangkan setiap jengkal tanah yang dilalui kuda itu menjadi daerah kekuasaan sang raja yang melepaskan kuda tadi itu).
Upacara saji itu harus dilakukan secermat mungkin dengan rapalan-rapalan dan doa-doa yang mengiringinya pun harus diucapkan setepat-tepatnya. Maka dari itu keempat weda-samhita harus di pelajari secara lisan, harus dhafal seluruhnya dengan sempurna, di samping pelajaran-pelajaran lain yang berhubungan dengan upacara-upacara saji yang diperlukan. Hal itu sulit juga, kepandaian ini harus dimiliki oleh tiga kasta yang tertinggi (cudra tidak boleh melihat atau mendengar weda). Maka dari itu hidup para anggota laki-laki ketiga kasta itu dibagi menjadi empat tingkatan, yang satu demi satu harus dijalani (dalam prakteknya hanya oleh brahmana dan kerap kali juga oleh raja), dan yang dinamakan caturacrama, ialah: brahmacarin, grhastha, wanaprastha dan sanyasin atau pariwrajaka.
Anak umur 8-12 tahun diserahkan kepada seorang acarya atau guru. Ia menjadi brahmacarin. Dengan upacara upanayana ia menjadi dwija (yang dilahirkan dua kali) dan ia mendapat upawita atau tali kasta sebagai tanda kastanya. Ia harus tunduk dan taat secara mutlak kepada guru dan isterinya. Dengan jalan minta-minta ia harus mendapatkan makanan, dan hasilnya harus dipertanggungjawabkan kepada gurunya.
Setelah 10-12 tamatlah ia belajar. Maka ia pulang kerumah orang tuanya, untuk segera menjalani kehidupan berikutnya. Ia dikawinkan, dan ia memasuki tingkatan grhastha atau kepala keluarga. Kini ia berhak dan berkewajiban untuk menyelenggarakan saji.
Setelah ia melihat cucunya yang pertama, maka ia sendiri atau beserta isterinya meninggalkan kehidupan duniawi dan mengundurkan diri ke dalam hutan-hutan sebagai wanaprastha (penghuni hutan). Di sini ia bertapa dan merenungkan makna hidup sedalam-dalamnya.
Tingkatan ke-4, yaitu sanyasin atau pariwrajaka, adalah kewajiban terakhir. Sebagi petapa pengembara tanpa suatu harta milik ia tidak lagi mempunyai tempat yang tetap, dan dengan menyebelahkanankan pegunungan Himalaya ia berjalan selalu dengan tak tentu tujuannya sampai akhirnya ia mati.

Untuk lebih jelasnya baca buku:
Dr. R. Soekmono, 1973. Pengantar Sejarah Indonesia 2. Yogyakarta: Kanisius ( IKAPI). hlm 11-13.
Baca Berita Dapatkan Uang!!! Jangan Ketinggalan!!!
Dear friend, saya baru saja mendapat Rp300 di BuzzBreak! Bergabunglah sekarang dan Anda bisa mendapatkan --->Rp200.000.
Kabar gembira, anda membaca berita juga mendapat uang!
Silahkah Join, karena tidak ada salahnya mencoba:
Bagi yang memiliki Wallet DANA, wd jauh lebih mudah!